Hai.. selamat datang di blog Saya. Ini hanya tempat saya cerita, berolahraga jari, sarana berlatih menulis, dan menyebarkan energi yang didapatkan dari setiap 'Matahari' yang saya temui setiap hari. Terima kasih sudah mampir ya.. =) Salam, Jefrin Goeltome
Get Gifs at CodemySpace.com
Photobucket

Musik Galery

Jika Esok Tak Pernah Ada

0 komentar
TwitThis
Pada suatu tempat, hiduplah seorang anak. Dia hidup dalam keluarga yang bahagia, dengan orang tua dan sanak keluarganya. Tetapi, dia selalu mengangap itu sesuatu yang wajar saja. Dia terus bermain, menggangu adik dan kakaknya, membuat masalah bagi orang lain adalah kesukaannya. Ketika ia menyadari kesalahannya dan mau minta maaf, dia selalu berkata, "Tidak apa-apa, besok kan bisa."


Ketika agak besar, sekolah sangat menyenangkan baginya. Dia belajar, mendapat teman, dan sangat bahagia. Tetapi, dia anggap itu wajar-wajar saja. Semua begitu saja dijalaninya sehingga dia anggap semua sudah sewajarnya.

Suatu hari, dia berkelahi dengan teman baiknya. Walaupun dia tahu itu salah, tapi tidak pernah mengambil inisiatif untuk minta maaf dan berbaikan dengan teman baiknya. Alasannya, "Tidak apa-apa, besok kan bisa."

Ketika dia agak besar, teman baiknya tadi bukanlah temannya lagi. Walaupun dia masih sering melihat temannya itu, tapi mereka tidak pernah saling tegur. Tapi itu bukanlah masalah, karena dia masih punya banyak teman baik yang lain. Dia dan teman-temannya melakukan segala sesuatu bersama-sama, main, kerjakan PR, dan jalan-jalan. Ya, mereka semua teman-temannya yang paling baik.

Setelah lulus, kerja membuatnya sibuk. Dia bertemu seorang perempuan yang sangat cantik dan baik. Perempuan ini kemudian menjadi pacarnya. Dia begitu sibuk dengan kerjanya, karena dia ingin dipromosikan ke posisi paling tinggi dalam waktu yang sesingkat mungkin.

Tentu, dia rindu untuk bertemu teman-temannya. Tapi dia tidak pernah lagi menghubungi mereka, bahkan lewat telepon. Dia selalu berkata, "Ah, aku capek, besok saja aku hubungin mereka." Ini tidak terlalu mengganggu dia karena dia punya teman-teman sekerja yang selalu mau diajak keluar. Jadi, waktu pun berlalu, dia lupa sama sekali untuk menelepon teman-temannya.

Setelah dia menikah dan punya anak, dia bekerja lebih keras agar dapat membahagiakan keluarganya. Dia tidak pernah lagi membeli bunga untuk istrinya, ataupun mengingat hari ulang tahun istrinya dan juga hari pernikahan mereka. Itu tidak masalah baginya, karena istrinya selalu mengerti dia, dan tidak pernah menyalahkannya.

Tentu, kadang-kadang dia merasa bersalah dan sangat ingin punya kesempatan untuk mengatakan pada istrinya "Aku cinta kamu", tapi dia tidak pernah melakukannya. Alasannya, "Tidak apa-apa, pasti besok saya akan mengatakannya." Dia tidak pernah sempat datang ke pesta ulang tahun anak-anaknya, tapi dia tidak tahu ini akan berpengaruh pada anak-anaknya. Anak-anak mulai menjauhinya, dan tidak pernah benar-benar menghabiskan waktu mereka dengan ayahnya.

Suatu hari, kemalangan datang ketika istrinya tewas dalam kecelakaan, istrinya ditabrak lari. Ketika kejadian itu terjadi, dia sedang ada rapat. Dia tidak sadar bahwa itu kecelakaan yang fatal, dia baru datang saat istrinya akan dijemput maut. Sebelum sempat berkata "Aku mencintaimu", istrinya telah meninggal dunia. Laki-laki itu remuk hatinya dan mencoba menghibur diri melalui anak-anaknya. Tapi, dia baru sadar bahwa anak-anaknya tidak pernah mau berkomunikasi dengannya.

Waktu pun berlalu, anak-anaknya sudah dewasa dan membangun keluarganya masing-masing. Tidak ada yang peduli dengan orangtua ini, yang di masa lalunya tidak pernah meluangkan waktunya untuk mereka.

Saat mulai renta, dia pindah ke rumah jompo yang terbaik, yang menyediakan pelayanan sangat baik. Dia menggunakan uang yang semula disimpannya untuk perayaan ulang tahun pernikahan ke 50, 60, dan 70. Semula uang itu akan dipakainya untuk pergi berlibur bersama istrinya, tapi kini dipakainya untuk membayar biaya tinggal di rumah jompo tersebut. Sejak itu, hanya ada orang-orang tua dan suster yang merawatnya. Dia kini merasa sangat kesepian, perasaan yang tidak pernah dia rasakan sebelumnya.

Saat dia mau meninggal, dia memanggil seorang suster dan berkata kepadanya, "Ah, andai saja aku menyadari ini dari dulu." Kemudian perlahan ia menghembuskan napas terakhir, dia meninggal dunia dengan airmata di pipinya.

***
Waktu itu tidak pernah berhenti, terus maju dan maju. Jika kita selalu pikir bahwa besok akan datang, maka "besok" akan pergi begitu cepatnya, hingga kita baru menyadari bahwa waktu telah meninggalkan kita.

Tuhan...Beri aku waktu 1 jam saja

0 komentar
TwitThis

Los Felidas adalah nama sebuah jalan di ibu kota sebuah negara di Amerika Selatan, yang terletak di kawasan terkumuh diseluruh kota .

Ada sebuah kisah yang menyebabkan jalan itu begitu dikenang orang, dan itu dimulai dari kisah seorang pengemis wanita yang juga ibu seorang gadis kecil. Tidak seorangpun yang tahu nama aslinya, tapi beberapa orang tahu sedikit masa lalunya, yaitu bahwa ia bukan penduduk asli disitu, melainkan dibawa oleh suaminya dari kampung halamannya.

Seperti kebanyakan kota besar di dunia ini, kehidupan masyarakat kota terlalu berat untuk mereka, dan belum setahun mereka di kota itu, mereka kehabisan seluruh uangnya, dan pada suatu pagi mereka sadar bahwa mereka tidak tahu dimana mereka tidur malam nanti dan tidak sepeserpun uang ada dikantong.

Padahal mereka sedang menggendong bayi mereka yang berumur 1 tahun. Dalam keadaan panik dan putus asa, mereka berjalan dari satu jalan ke jalan lainnya, dan akhirnya tiba di sebuah jalan sepi dimana puing-puing sebuah toko seperti memberi mereka sedikit tempat untuk berteduh.

Saat itu angin Desember bertiup kencang, membawa titik-titik air yang dingin. Ketika mereka beristirahat dibawah atap toko itu, sang suami berkata: "Saya harus meninggalkan kalian sekarang. Saya harus mendapatkan pekerjaan, apapun, kalau tidak malam nanti kita akan tidur disini." Setelah mencium bayinya ia pergi. Dan ia tidak pernah kembali.

Tak seorangpun yang tahu pasti kemana pria itu pergi, tapi beberapa orang seperti melihatnya menumpang kapal yang menuju ke Afrika. Selama beberapa hari berikutnya sang ibu yang malang terus menunggu kedatangan suami nya, dan bila malam tidur di emperan toko itu.

Pada hari ketiga, ketika mereka sudah kehabisan susu,orang-orang yang lewat mulai memberi mereka uang kecil, dan jadilah mereka pengemis di sana selama 6 bulan berikutnya. Pada suatu hari, tergerak oleh semangat untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik, ibu itu bangkit dan memutuskan untuk bekerja.

Masalahnya adalah di mana ia harus menitipkan anaknya, yang kini sudah hampir 2 tahun, dan tampak amat cantik jelita. Tampaknya tidak ada jalan lain kecuali meninggalkan anak itu disitu dan berharap agar nasib tidak memperburuk keadaan mereka. Suatu pagi ia berpesan pada anak gadisnya, agar ia tidak kemana-mana, tidak ikut siapapun yang mengajaknya pergi atau menawarkan gula-gula.

Pendek kata, gadis kecil itu tidak boleh berhubungan dengan siapapun selama ibunya tidak ditempat. "Dalam beberapa hari mama akan mendapatkan cukup uang untuk menyewa kamar kecil yang berpintu, dan kita tidak lagi tidur dengan angin di rambut kita". Gadis itu mematuhi pesan ibunya dengan penuh kesungguhan. Maka sang ibu mengatur kotak kardus dimana mereka tinggal selama 7 bulan agar tampak kosong, dan membaringkan anak nya dengan hati-hati di dalamnya. Di sebelahnya ia meletakkan sepotong roti.. Kemudian, dengan mata basah ibu itu menuju kepabrik sepatu, di mana ia bekerja sebagai pemotong kulit.

Begitu lah kehidupan mereka selama beberapa hari, hingga di kantong sang Ibu kini terdapat cukup uang untuk menyewa sebuah kamar berpintu di daerah kumuh. Dengan suka cita ia menuju ke penginapan orang-orang miskin itu, dan membayar uang muka sewa kamarnya. Tapi siang itu juga sepasang suami istri pengemis yang moralnya amat rendah menculik gadis cilik itu dengan paksa, dan membawanya sejauh 300 kilometer ke pusat kota ...

Di situ mereka mendandani gadis cilik itu dengan baju baru, membedaki wajahnya, menyisir rambutnya dan membawanya ke sebuah rumah mewah dipusat kota . Di situ gadis cilik itu dijual. Pembelinya adalah pasangan suami istri dokter yang kaya, yang tidak pernah bisa punya anak sendiri walaupun mereka telah menikah selama 18 tahun.

Mereka memberi nama anak gadis itu Serrafona, dan mereka memanjakannya dengan amat sangat. Di tengah-tengah kemewahan istana itulah gadis kecil itu tumbuh dewasa. Ia belajar kebiasaan-kebiasaan orang terpelajar seperti merangkai bunga, menulis puisi dan bermain piano.Ia bergabung dengan kalangan-kalangan kelas atas, dan mengendarai Mercedes Benz kemanapun ia pergi.

Satu hal yang baru terjadi menyusul hal lainnya,dan bumi terus berputar tanpa kenal istirahat. Pada umurnya yang ke-24, Serrafona dikenal sebagai anak gadis Gubernur yang amat jelita, yang pandai bermain piano, yang aktif di gereja, dan yang sedang menyelesaikan gelar dokternya. Ia adalah figur gadis yang menjadi impian tiap pemuda, tapi cintanya direbut oleh seorang dokter muda yang welas asih, yang bernama Geraldo.

Setahun setelah perkimpoian mereka, ayahnya wafat, dan Serrafona beserta suaminya mewarisi beberapa perusahaan dan sebuah real-estate sebesar 14 hektar yang diisi dengan taman bunga dan istana yang paling megah di kota itu. Menjelang hari ulang tahunnya yang ke-27, sesuatu terjadi yang merubah kehidupan wanita itu. Pagi itu Serrafona sedang membersihkan kamar mendiang ayahnya yang sudah tidak pernah dipakai lagi, dan di laci meja kerja ayah nya ia melihat selembar foto seorang anak bayi yang digendong sepasang suami istri. Selimut yang dipakai untuk menggendong bayi itu lusuh, dan bayi itu sendiri tampak tidak terurus, karena walaupun wajahnya dilapisi bedak tetapi rambutnya tetap kusam.

Sesuatu ditelinga kiri bayi itu membuat jantungnya berdegup kencang. Ia mengambil kaca pembesar dan mengkonsentrasikan pandangannya pada telinga kiri itu. Kemudian ia membuka lemarinya sendiri, dan mengeluarkan sebuah kotak kayu mahoni. Di dalam kotak yang berukiran indah itu dia menyimpan seluruh barang-barang pribadinya, dari kalung-kalung berlian hingga surat-surat pribadi. Tapi diantara benda-benda mewah itu terdapat sesuatu terbungkus kapas kecil, sebentuk anting-anting melingkar yang amat sederhana, ringan dan bukan emas murni.

Ibunya almarhum memberinya benda itu sambil berpesan untuk tidak kehilangan benda itu. Ia sempat bertanya, kalau itu anting-anting, di mana satunya. Ibunya menjawab bahwa hanya itu yang ia punya. Serrafona menaruh anting-anting itu didekat foto.

Sekali lagi ia mengerahkan seluruh kemampuan melihatnya dan perlahan-lahan air matanya berlinang . Kini tak ada keragu-raguan lagi bahwa bayi itu adalah dirinya sendiri. Tapi kedua pria wanita yang menggendongnya, yang tersenyum dibuat-buat, belum penah dilihatnya sama sekali. Foto itu seolah membuka pintu lebar-lebar pada ruangan yang selama ini mengungkungi pertanyaan-pertanya annya, misalnya: kenapa bentuk wajahnya berbeda dengan wajah kedua orang tuanya, kenapa ia tidak menuruni golongan darah ayahnya..

Saat itulah, sepotong ingatan yang sudah seperempat abad terpendam, berkilat di benaknya, bayangan seorang wanita membelai kepalanya dan mendekapnya di dada. Di ruangan itu mendadak Serrafona merasakan betapa dinginnya sekelilingnya tetapi ia juga merasa betapa hangatnya kasih sayang dan rasa aman yang dipancarkan dari dada wanita itu. Ia seolah merasakan dan mendengar lewat dekapan itu bahwa daripada berpisah lebih baik mereka mati bersama.

Mata nya basah ketika ia keluar dari kamar dan menghampiri suaminya yang sedang membaca koran: "Geraldo, saya adalah anak seorang pengemis, dan mungkinkah ibu saya masih ada di jalan sekarang setelah 25 tahun?"

Itu adalah awal dari kegiatan baru mereka mencari masa laluSerrafonna. Foto hitam-putih yang kabur itu diperbanyak puluhan ribu lembar dan disebar ke seluruh jaringan kepolisian diseluruh negeri. Sebagai anak satu-satunya dari bekas pejabat yang cukup berpengaruh di kota itu, Serrafonna mendapatkan dukungan dari seluruh kantor kearsipan, kantor surat kabar dan kantor catatan sipil.

Ia membentuk yayasan -yayasan untuk mendapatkan data dari seluruh panti-panti orang jompo dan badan-badansosial di seluruh negeri dan mencari data tentang seorang wanita.

Bulan demi bulan lewat, tapi tak ada perkembangan apapun dari usahanya. Mencari seorang wanita yang mengemis 25 tahun yang lalu di negeri dengan populasi 90 juta bukan sesuatu yang mudah. Tapi Serrafona tidak punya pikiran untuk menyerah. Dibantu suaminya yang begitu penuh pengertian, mereka terus menerus meningkatkan pencarian mereka. Kini, tiap kali bermobil, mereka sengaja memilih daerah-daerah kumuh, sekedar untuk lebih akrab dengan nasib baik. Terkadang ia berharap agar ibunya sudah almarhum sehingga ia tidak terlalu menanggung dosa mengabaikannya selama seperempat abad.

Tetapi ia tahu, entah bagaimana, bahwa ibunya masih ada, dan sedang menantinya sekarang. Ia memberitahu suaminya keyakinan itu berkali-kali, dan suaminya mengangguk-angguk penuh pengertian.

Pagi, siang dan sore ia berdoa: "Tuhan, ijinkan saya untuk satu permintaan terbesar dalam hidup saya: temukan saya dengan ibu saya". Tuhan mendengarkan doa itu. Suatu sore mereka menerimakabar bahwa ada seorang wanita yang ungkin bisa membantu mereka menemukan ibunya. Tanpa membuang waktu, mereka terbang ke tempat itu, sebuah rumah kumuh di daerah lampu merah, 600 km dari kota mereka.

Sekali melihat, mereka tahu bahwa wanita yang separoh buta itu, yang kini terbaring sekarat, adalah wanita di dalam foto. Dengan suara putus-putus, wanita itu mengakui bahwa ia memang pernah mencuri seorang gadis kecil ditepi jalan, sekitar 25 tahun yang lalu.

Tidak banyak yang diingatnya, tapi diluar dugaan ia masih ingat kota dan bahkan potongan jalan dimana ia mengincar gadis kecil itu dan kemudian menculiknya. Serrafona memberi anak perempuan yang menjaga wanita itu sejumlah uang, dan malam itu juga mereka mengunjungi kota dimana Serrafonna diculik.

Mereka tinggal di sebuah hotel mewah dan mengerahkan orang-orang mereka untuk mencari nama jalan itu. Semalaman Serrafona tidak bisa tidur. Untuk kesekian kalinya ia bertanya-tanya kenapa ia begitu yakin bahwa ibunya masih hidup sekarang, dan sedang menunggunya, dan ia tetap tidak tahu jawabannya.

Dua hari lewat tanpa kabar. Pada hari ketiga, pukul 18:00 senja, mereka menerima telepon dari salah seorang staff mereka. "Tuhan maha kasih, Nyonya, kalau memang Tuhan mengijinkan, kami mungkin telah menemukan ibu Nyonya. Hanya cepat sedikit, waktunya mungkin tidak banyak lagi."

Mobil mereka memasuki sebuah jalanan yang sepi, dipinggiran kota yang kumuh dan banyak angin. Rumah-rumah di sepanjang jalan itu tua-tua dan kusam. Satu, dua anak kecil tanpa baju bermain-main ditepi jalan. Dari jalanan pertama, mobil berbelok lagi kejalanan yang lebih kecil, kemudian masih belok lagi kejalanan berikut nya yang lebih kecil lagi. Semakin lama mereka masuk dalam lingkungan yang semakin menunjukkan kemiskinan. Tubuh Serrrafona gemetar, ia seolah bisa mendengar panggilan itu. "Lekas, Serrafonna, mama menunggumu, sayang". Ia mulai berdoa "Tuhan, beri saya setahun untuk melayani mama. Saya akan melakukan apa saja".

Ketika mobil berbelok memasuki jalan yang lebih kecil, dan ia bisa membaui kemiskinan yang amat sangat, ia berdoa: "Tuhan beri saya sebulan saja". Mobil belok lagi kejalanan yang lebih kecil, dan angin yang penuh derita bertiup, berebut masuk melewati celah jendela mobil yang terbuka. Ia mendengar lagi panggilan mamanya , dan ia mulai menangis: "Tuhan, kalau sebulan terlalu banyak, cukup beri kami seminggu untuk saling memanjakan ". Ketika mereka masuk belokan terakhir, tubuhnya menggigil begitu hebat sehingga Geraldo memeluknya erat-erat.

Jalan itu bernama Los Felidas. Panjangnya sekitar 180 meter dan hanya kekumuhan yang tampak dari sisi ke sisi, dari ujung keujung. Di tengah-tengah jalan itu, di depan puing-puing sebuah toko, tampak onggokan sampah dan kantong-kantong plastik, dan ditengah-tengahnya, terbaring seorang wanita tua dengan pakaian sehitam jelaga, tidak bergerak-gerak.

Mobil mereka berhenti diantara 4 mobil mewah lainnya dan 3 mobil polisi. Di belakang mereka sebuah ambulansberhenti, diikuti empat mobil rumah sakit lain. Dari kanan kiri muncul pengemis- pengemis yang segera memenuhi tempat itu. "Belum bergerak dari tadi." lapor salah seorang. Pandangan Serrafona gelap tapi ia menguatkan dirinya untuk meraih esadarannya dan turun.

Suaminya dengan sigap sudah meloncat keluar, memburu ibu mertuanya. "Serrafona, kemari cepat! Ibumu masih hidup, tapi kau harus menguatkan hatimu ."

Serrafona memandang tembok dihadapann ya, dan ingat saat ia menyandarkan kepalanya ke situ. Ia memandang lantai di kaki nya dan ingat ketika ia belajar berjalan. Ia membaui bau jalanan yang busuk, tapi mengingatkan nya pada masa kecilnya. Air matanya mengalir keluar ketika ia melihat suaminya menyuntikkan sesuatu ke tangan wanita yang terbaring itu dan memberinya isyarat untuk mendekat.

"Tuhan, ia meminta dengan seluruh jiwa raganya,beri kami sehari...... Tuhan, biarlah saya membiarkan mama mendekap saya dan memberitahunya bahwa selama 25 tahun ini hidup saya amat bahagia....Jadi mama tidak menyia-nyia kan saya".

Ia berlutut dan meraih kepala wanita itu kedadanya. Wanita tua itu perlahan membuka matanya dan memandang keliling, ke arah kerumunan orang-orang berbaju mewah dan perlente, ke arah mobil-mobil yang mengkilat dan ke arah wajah penuh air mata yang tampak seperti wajahnya sendiri ketika ia masih muda.

"Mama.. ..", ia mendengar suara itu, dan ia tahu bahwa apa yang ditunggunya tiap malam - antara waras dan tidak - dan tiap hari - antara sadar dan tidak - kini menjadi kenyataan. Ia tersenyum, dan dengan seluruh kekuatann ya menarik lagi jiwanya yang akan lepas.

Perlahan ia membuka genggaman tangann ya, tampak sebentuk anting-anting yang sudah menghitam. Serrafona mengangguk, dan tanpa perduli sekelilingnya ia berbaring di atas jalanan itu dan merebahkan kepalanya di dada mamanya.

"Mama, saya tinggal di istana dan makan enak tiap hari. Mama jangan pergi dulu. Apapun yang mama mau bisa kita lakukan bersama-sama. Mama ingin makan, ingin tidur, ingin bertamasya, apapun bisa kita bicarakan. Mama jangan pergi dulu... Mama..."

Ketika telinganya menangkap detak jantung yang melemah, ia berdoa lagi kepada Tuhan: "Tuhan maha pengasih dan pemberi, Tuhan..... satu jam saja.... ...satu jam saja....."

Tapi dada yang didengarnya kini sunyi, sesunyi senja dan puluhan orang yang membisu. Hanya senyum itu, yang menandakan bahwa penantiannya selama seperempat abad tidak berakhir sia-sia.



Teman....mungkin saat ini kita sedang beruntung. Hidup ditengah kemewahan dan kondisi berkecukupan. Mungkin kita mendapatkannya dari hasil keringat sendiri tanpa bantuan orang tua kita. Namun yang perlu kita sadari, bahwa orang tua kita senantiasa berdoa untuk kita, meski itu hanya di peraduan

Hati seorang Ayah

0 komentar
TwitThis


Suatu ketika, ada seorang anak wanita bertanya kepada Ayahnya, tatkala tanpa sengaja dia melihat Ayahnya sedang mengusap wajahnya yang mulai berkerut-merut dengan badannya yang terbungkuk-bungkuk, disertai suara batuk-batuknya. Anak wanita itu bertanya pada ayahnya: "Ayah , mengapa wajah Ayah kian berkerut-merut dengan badan Ayah yang kian hari kian terbungkuk?" Demikian pertanyaannya, ketika Ayahnya sedang santai di beranda.

Ayahnya menjawab : "Sebab aku Laki-laki." Itulah jawaban Ayahnya. Anak wanita itu berguman : " Aku tidak mengerti."

Dengan kerut-kening karena jawaban Ayahnya membuatnya tercenung rasa penasaran. Ayahnya hanya tersenyum, lalu dibelainya rambut anak wanita itu, terus menepuk nepuk bahunya, kemudian Ayahnya mengatakan : "Anakku, kamu memang belum mengerti tentang Laki-laki."
Demikian bisik Ayahnya, membuat anak wanita itu tambah kebingungan.

Karena penasaran, kemudian anak wanita itu menghampiri Ibunya lalu bertanya :"Ibu mengapa wajah ayah menjadi berkerut-merut dan badannya kian hari kian terbungkuk? Dan sepertinya Ayah menjadi demikian tanpa ada keluhan dan rasa sakit?"
Ibunya menjawab: "Anakku, jika seorang Laki-laki yang benar benar bertanggung jawab terhadap keluarga itu memang akan demikian."
Hanya itu jawaban Sang Bunda. Anak wanita itupun kemudian tumbuh menjadi dewasa, tetapi dia tetap saja penasaran.

Hingga pada suatu malam, anak wanita itu bermimpi. Di dalam mimpi itu seolah-olah dia mendengar suara yang sangat lembut, namun jelas sekali. Dan kata-kata yang terdengar dengan jelas itu ternyata suatu rangkaian kalimat sebagai jawaban rasa penasarannya selama ini.
"Saat Ku-ciptakan Laki-laki, aku membuatnya sebagai pemimpin keluarga serta sebagai tiang penyangga dari bangunan keluarga, dia senantiasa akan menahan setiap ujungnya, agar keluarganya merasa aman teduh dan terlindungi. "

"Ku-ciptakan bahunya yang kekar dan berotot untuk membanting tulang menghidupi seluruh keluarganya dan kegagahannya harus cukup kuat pula untuk melindungi seluruh keluarganya. "

"Ku-berikan kemauan padanya agar selalu berusaha mencari sesuap nasi yang berasal dari tetesan keringatnya sendiri yang halal dan bersih, agar keluarganya tidak terlantar, walaupun seringkali dia mendapatkan cercaan dari anak-anaknya. "

"Kuberikan Keperkasaan dan mental baja yang akan membuat dirinya pantang menyerah, demi keluarganya dia merelakan kulitnya tersengat panasnya matahari, demi keluarganya dia merelakan badannya basah kuyup kedinginan karena tersiram hujan dan hembusan angin, dia relakan tenaga perkasanya terkuras demi keluarganya dan yang selalu dia ingat, adalah disaat semua orang menanti kedatangannya dengan mengharapkan hasil dari jerih payahnya."

"Ku berikan kesabaran, ketekunan serta keuletan yang akan membuat dirinya selalu berusaha merawat dan membimbing keluarganya tanpa adanya keluh kesah, walaupun disetiap perjalanan hidupnya keletihan dan kesakitan kerap kali menyerangnya. "

"Ku berikan perasaan keras dan gigih untuk berusaha berjuang demi mencintai dan mengasihi keluarganya, didalam kondisi dan situasi apapun juga, walaupun tidaklah jarang anak-anaknya melukai perasaannya melukai hatinya. Padahal perasaannya itu pula yang telah memberikan perlindungan rasa aman pada saat dimana anak-anaknya tertidur lelap. Serta sentuhan perasaannya itulah yang memberikan kenyamanan bila saat dia sedang menepuk-nepuk bahu anak-anaknya agar selalu saling menyayangi dan mengasihi sesama saudara."

"Ku-berikan kebijaksanaan dan kemampuan padanya untuk memberikan pengetahuan padanya untuk memberikan pengetahuan dan menyadarkan, bahwa Istri yang baik adalah Istri yang setia terhadap Suaminya, Istri yang baik adalah Istri yang senantiasa menemani. Dan bersama-sama menghadapi perjalanan hidup baik suka maupun duka, walaupun seringkali kebijaksanaannya itu akan menguji setiap kesetiaan yang diberikan kepada Istri, agar tetap berdiri, bertahan, sejajar dan saling melengkapi serta saling menyayangi."

"Ku-berikan kerutan diwajahnya agar menjadi bukti bahwa Laki-laki itu senantiasa berusaha sekuat daya pikirnya untuk mencari dan menemukan cara agar keluarganya bisa hidup di dalam keluarga bahagia dan badannya yang terbungkuk agar dapat membuktikan, bahwa sebagai laki-laki yang bertanggungjawab terhadap seluruh keluarganya, senantiasa berusaha mencurahkan sekuat tenaga serta segenap perasaannya, kekuatannya, keuletannya demi kelangsungan hidup keluarganya. "

"Ku-berikan Kepada Laki-laki tanggung jawab penuh sebagai Pemimpin keluarga, sebagai Tiang penyangga, agar dapat dipergunakan dengan sebaik-baiknya. dan hanya inilah kelebihan yang dimiliki oleh laki-laki, walaupun sebenarnya tanggung jawab ini adalah titipan di Dunia dan Akhirat."

Terbangun anak wanita itu, dan segera dia berlari, berlutut dan berdoa . Setelah itu dia hampiri bilik Ayahnya yang sedang berdoa, ketika Ayahnya berdiri anak wanita itu merengkuh dan mencium telapak tangan Ayanya. "Aku mendengar dan merasakan bebanmu, Ayah."

Dunia ini memiliki banyak keajaiban, segala ciptaan Tuhan yang begitu agung, tetapi tak satu pun yang dapat menandingi keindahan tangan Ayah.

bosan hidup..!!! ingin mati..baca ini dulu..!!!

0 komentar
TwitThis


Seorang pria mendatangi Sang Master, “Guru, saya sudah bosan hidup. Sudah jenuh betul. Rumah tangga saya berantakan. Usaha saya kacau. Apapun yang saya lakukan selalu berantakan. Saya ingin mati.”
Sang Master tersenyum, “Oh, kamu sakit.”

“Tidak Master, saya tidak sakit. Saya sehat. Hanya jenuh dengan kehidupan. Itu sebabnya saya ingin mati.”
Seolah-olah tidak mendengar pembelaannya, sang Master meneruskan, “Kamu sakit. Dan penyakitmu itu sebutannya, ‘Alergi Hidup’. Ya, kamu alergi terhadap kehidupan.”

Banyak sekali di antara kita yang alergi terhadap kehidupan. Kemudian, tanpa disadari kita melakukan hal-hal yang bertentangan dengan norma kehidupan. Hidup ini berjalan terus. Sungai kehidupan mengalir terus, tetapi kita menginginkan status-quo. Kita berhenti di tempat, kita tidak ikut mengalir. Itu sebabnya kita jatuh sakit. Kita mengundang penyakit. Resistensi kita, penolakan kita untuk ikut mengalir bersama kehidupan membuat kita sakit.

Yang namanya usaha, pasti ada pasang-surutnya. Dalam hal berumah-tangga, bentrokan-bentrokan kecil itu memang wajar, lumrah. Persahabatan pun tidak selalu langgeng, tidak abadi. Apa sih yang langgeng, yang abadi dalam hidup ini? Kita tidak menyadari sifat kehidupan. Kita ingin mempertahankan suatu keadaan. Kemudian kita gagal, kecewa dan menderita.

“Penyakitmu itu bisa disembuhkan, asal kamu ingin sembuh dan bersedia mengikuti petunjukku.” demikian sang Master.

“Tidak Guru, tidak. Saya sudah betul-betul jenuh. Tidak, saya tidak ingin hidup.” pria itu menolak tawaran sang guru.

“Jadi kamu tidak ingin sembuh. Kamu betul-betul ingin mati?” “Ya, memang saya sudah bosan hidup.”

“Baik, besok sore kamu akan mati. Ambillah botol obat ini. Setengah botol diminum malam ini, setengah botol lagi besok sore jam enam, dan jam delapan malam kau akan mati dengan tenang.”

Giliran dia menjadi bingung. Setiap Master yang ia datangi selama ini selalu berupaya untuk memberikannya semangat untuk hidup. Yang satu ini aneh. Ia bahkan menawarkan racun. Tetapi, karena ia memang sudah betul-betul jenuh, ia menerimanya dengan senang hati. Pulang kerumah, ia langsung menghabiskan setengah botol racun yang disebut “obat” oleh Master edan itu. Dan, ia merasakan ketenangan sebagaimana tidak pernah ia rasakan sebelumnya.

Begitu rileks, begitu santai!

Tinggal 1 malam, 1 hari, dan ia akan mati. Ia akan terbebaskan dari segala macam masalah. Malam itu, ia memutuskan untuk makan malam bersama keluarga di restoran Jepang. Sesuatu yang sudah tidak pernah ia lakukan selama beberapa tahun terakhir. Pikir-pikir malam terakhir, ia ingin meninggalkan kenangan manis. Sambil makan, ia bersenda gurau. Suasananya santai banget!

Sebelum tidur, ia mencium bibir istrinya dan membisiki di kupingnya, “Sayang, aku mencintaimu. “Karena malam itu adalah malam terakhir, ia ingin meninggalkan kenangan manis! Esoknya bangun tidur, ia membuka jendela kamar dan melihat ke luar. Tiupan angin pagi menyegarkan tubuhnya. Dan ia tergoda untuk melakukan jalan pagi. Pulang kerumah setengah jam kemudian, ia menemukan istrinya masih tertidur. Tanpa membangunkannya, ia masuk dapur dan membuat 2 cangkir kopi. Satu untuk dirinya, satu lagi untuk istrinya. Karena pagi itu adalah pagi terakhir,ia ingin meninggalkan kenangan manis!

Sang istripun merasa aneh sekali Selama ini, mungkin aku salah. “Maafkan aku, sayang.”

Di kantor, ia menyapa setiap orang, bersalaman dengan setiap orang. Stafnya pun bingung, “Hari ini, Boss kita kok aneh ya?” Dan sikap mereka pun langsung berubah. Mereka pun menjadi lembut. Karena siang itu adalah siang terakhir, ia ingin meninggalkan kenangan manis!

Tiba-tiba, segala sesuatu di sekitarnya berubah. Ia menjadi ramah dan lebih toleran, bahkan apresiatif terhadap pendapat-pendapat yang berbeda.

Tiba-tiba hidup menjadi indah. Ia mulai menikmatinya. Pulang kerumah jam 5 sore, ia menemukan istri tercinta menungguinya di beranda depan.

Kali ini justru sang istri yang memberikan ciuman kepadanya, “Sayang, sekali lagi aku minta maaf, kalau selama ini aku selalu merepotkan kamu.” Anak-anak pun tidak ingin ketinggalan, “Ayah, maafkan kami semua. Selama ini, Ayah selalu stres karena perilaku kami.”

Tiba-tiba, sungai kehidupannya mengalir kembali. Tiba-tiba, hidup menjadi sangat indah. Ia mengurungkan niatnya untuk bunuh diri. Tetapi bagaimana dengan setengah botol yang sudah ia minum, sore sebelumnya?
Ia mendatangi sang Guru lagi.

Melihat wajah pria itu, rupanya sang Guru langsung mengetahui apa yang telah terjadi, “Buang saja botol itu. Isinya air biasa. Kau sudah sembuh, Apa bila kau hidup dalam kekinian, apabila kau hidup dengan kesadaran bahwa maut dapat menjemputmu kapan saja, maka kau akan menikmati setiap detik kehidupan. Leburkan egomu, keangkuhanmu, kesombonganmu. Jadilah lembut, selembut air. Dan mengalirlah bersama sungai kehidupan. Kau tidak akan jenuh, tidak akan bosan. Kau akan merasa hidup. Itulah rahasia kehidupan. Itulah kunci kebahagiaan. Itulah jalan menuju ketenangan.”

Pria itu mengucapkan terima kasih dan menyalami Sang Guru, lalu pulang ke rumah, untuk mengulangi pengalaman malam sebelumnya. Konon, ia masih mengalir terus. Ia tidak pernah lupa hidup dalam kekinian. Itulah sebabnya, ia selalu bahagia, selalu tenang, selalu HIDUP!!!

Hidup…bukanlah merupakan suatu beban yang harus dipikul, tapi merupakan suatu anugrah untuk dinikmati.

Renungan tentang 4 lilin yang menyala

0 komentar
TwitThis


Ada 4 lilin yang menyala, Sedikit demi sedikit habis meleleh. Suasana begitu sunyi sehingga terdengarlah percakapan mereka. 
Yang pertama berkata,
"Aku adalah Damai. Namun manusia tak mampu menjagaku: maka lebih baik aku mematikan diriku saja!"
Demikianlah sedikit demi sedikit sang lilin padam.

Yang kedua berkata,
"Aku adalah Iman. Sayang aku tak berguna lagi. Manusia tak mau mengenalku, untuk itulah tak ada gunanya aku tetap menyala."
Begitu selesai bicara, tiupan angin memadamkannya.

Dengan sedih giliran lilin ketiga bicara,
"Aku adalah Cinta. Tak mampu lagi aku untuk tetap menyala. Manusia tidak lagi memandang dan mengganggapku berguna. Mereka saling membenci, bahkan membenci mereka yang mencintainya, membenci keluarganya."
Tanpa menunggu waktu lama, maka matilah lilin ketiga.

Tanpa terduga...Seorang anak saat itu masuk ke dalam kamar, dan melihat ketiga lilin telah padam. Karena takut akan kegelapan, ia pun berkata,
"Eh, apa yang terjadi? Kalian harus tetap menyala, Aku takut akan kegelapan!"
Lalu ia mengangis tersedu-sedu.

Lalu dengan terharu lilin keempat berkata,

"Jangan takut, Janganlah menangis, selama aku masih ada dan menyala, kita tetap dapat selalu menyalakan ketiga lilin lainnya."
"Akulah HARAPAN."

Dengan mata bersinar, sang anak mengambil lilin Harapan, lalu menyalakan kembali ketiga lilin lainnya.


Apa yang tidak pernah mati hanyalah HARAPAN yang ada dalam hati kita, dan masing-masing kita semoga dapat menjadi alat, seperti sang anak tersebut, yang dalam situasi apapun mampu menghidupkan kembali Iman, Damai, Cinta dengan HARAPAN-nya.


Kisah Seorang Ibu penjual Tempe

0 komentar
TwitThis


Di Karangayu, sebuah desa di Kendal, Jawa Tengah, hiduplah seorang ibu penjual tempe. Tak ada pekerjaan lain yang dapat dia lalukan sebagai penyambung hidup. Meski demikian, nyaris tak pernah lahir keluhan dari bibirnya. Ia jalani hidup dengan riang. "Jika tempe ini yang nanti mengantarku ke surga, kenapa aku harus menyesalinya. .." demikian dia selalu memaknai hidupnya. Suatu pagi,  dia pun berkemas. Mengambil keranjang bambu tempat tempe, dia berjalan ke dapur. Diambilnya tempe-tempe yang dia letakkan di atasmeja panjang. Tapi, deg! dadanya gemuruh. Tempe yang akan dia jual, ternyata belum jadi. Masih berupa kacang kedelai, sebagian berderai, belum disatukan ikatan-ikatan putih kapas dari peragian.

Tempe itu masih harus menunggu satu hari lagi untuk jadi. Tubuhnya lemas. Dia bayangkan, hari ini pasti dia tidak akan mendapatkan uang, untuk makan, dan modal membeli kacang kedelai, yang akan dia olah kembali menjadi tempe.

Di tengah putus asa, terbersit harapan di dadanya. Dia tahu, jika meminta kepada Allah, pasti tak akan ada yang mustahil. Maka, di tengadahkan kepala, dia angkat tangan, dia baca doa. "Ya Allah, Engkau tahu kesulitanku. Aku tahu Engkau pasti menyayangi hamba-Mu yang hina ini. Bantulah aku ya Allah, jadikanlah kedelai ini menjadi tempe. Hanya kepada-Mu kuserahkan nasibku..." Dalam hati, dia yakin, Allah akan mengabulkan doanya.

Dengan tenang, dia tekan dan mampatkan daun pembungkus tempe. Dia rasakan hangat yang menjalari daun itu. Proses peragian memang masih berlangsung. Dadanya gemuruh. Dan pelan, dia buka daun pembungkus tempe. Dan... dia kecewa. Tempe itu masih belum juga berubah. Kacang kedelainya belum semua menyatu oleh kapas-kapas ragi putih. Tapi, dengan memaksa senyum, dia berdiri. Dia yakin, Allah pasti sedang "memproses" doanya. Dan tempe itu pasti akan jadi.

Dia yakin, Allah tidak akan menyengsarakan hambanya yang setia beribadah seperti dia. Sambil meletakkan semua tempe setengah jadi itu ke dalam keranjang, dia berdoa lagi. "Ya TUHAN, aku tahu tak pernah ada yang mustahil bagi-Mu. Engkau Maha Tahu, bahwa tak ada yang bisa aku lakukan selain berjualan tempe. Karena itu ya TUHAN, jadikanlah. Bantulah aku, kabulkan doaku..."

Sebelum mengunci pintu dan berjalan menuju pasar, dia buka lagi daun pembungkus tempe. Pasti telah jadi sekarang, batinnya. Dengan berdebar, dia intip dari daun itu, dan... belum jadi. Kacang kedelai itu belum sepenuhnya memutih. Tak ada perubahan apa pun atas ragian kacang kedelai tersebut. "Keajaiban Tuhan akan datang... pasti," yakinnya.


Dia pun berjalan ke pasar. Di sepanjang perjalanan itu, dia yakin, "tangan" Tuhan tengah bekerja untuk mematangkan proses peragian atas tempe-tempenya. Berkali-kali dia dia memanjatkan doa... berkali-kali dia yakinkan diri, Allah pasti mengabulkan doanya.

Sampai di pasar, di tempat dia biasa berjualan, dia letakkan keranjang-keranjang itu. "Pasti sekarang telah jadi tempe!" batinnya. Dengan berdebar, dia buka daun pembungkus tempe itu, pelan-pelan. Dan... dia terlonjak. Tempe itu masih tak ada perubahan. Masih sama seperti ketika pertama kali dia buka di dapur tadi.

Kecewa, airmata menitiki keriput pipinya. Kenapa doaku tidak dikabulkan? Kenapa tempe ini tidak jadi? Kenapa Tuhan begitu tidak adil? Apakah Dia ingin aku menderita? Apa salahku? Demikian batinnya berkecamuk.

Dengan lemas, dia gelar tempe-tempe setengah jadi itu di atas plastik yang telah dia sediakan. Tangannya lemas, tak ada keyakinan akan ada yang mau membeli tempenya itu. Dan dia tiba-tiba merasa lapar... merasa sendirian. Tuhan telah meninggalkan aku, batinnya.

Airmatanya kian menitik. Terbayang esok dia tak dapat berjualan... esok dia pun tak akan dapat makan.

Dilihatnya kesibukan pasar, orang yang lalu lalang, dan "teman-temannya" sesama penjual tempe di sisi kanan dagangannya yang mulai berkemas. Dianggukinya mereka yang pamit, karena tempenya telah laku. Kesedihannya kian memuncak. Diingatnya, tak pernah dia mengalami kejadian ini. Tak pernah tempenya tak jadi. Tangisnya kian keras. Dia merasa cobaan itu terasa berat...

Di tengah kesedihan itu, sebuah tepukan menyinggahi pundaknya. Dia memalingkan wajah, seorang perempuan cantik, paro baya, tengah tersenyum, memandangnya. "Maaf Ibu, apa ibu punya tempe yang setengah jadi? Capek saya sejak pagi mencari-cari di pasar ini, tak ada yang menjualnya. Ibu punya?"

Penjual tempe itu bengong. Terkesima. Tiba-tiba wajahnya pucat. Tanpa menjawab pertanyaan si ibu cantik tadi, dia cepat menadahkan kedua tangannya. "Ya Allah, saat ini aku tidak ingin tempe itu jadi. Jangan engkau kabulkan doaku yang tadi. Biarkan sajalah tempe itu seperti tadi, jangan jadikan tempe..." Lalu segera dia mengambil tempenya. Tapi, setengah ragu, dia letakkan lagi. "jangan-jangan, sekarang sudah jadi tempe..."

"Bagaimana Bu? Apa ibu menjual tempe setengah jadi?" tanya perempuan itu lagi. Kepanikan melandanya lagi. "Duh Gusti... bagaimana ini? Tolonglah ya TUHAN, jangan jadikan tempe ya?" ucapnya berkali-kali. Dan dengan gemetar, dia buka pelan-pelan daun pembungkus tempe itu. Dan apa yang dia lihat?

Pembaca, Di balik daun yang hangat itu, dia lihat tempe yang masih sama. Belum jadi! tanpa sadar. Segera dia angsurkan tempe itu kepada si pembeli. Sembari membungkus, dia pun bertanya kepada si ibu cantik itu. "Kok Ibu aneh ya, mencari tempe kok yang belum jadi?"

"Oohh, bukan begitu, Bu. Anak saya, si Shalauddin, yang kuliah S2 di Australia ingin sekali makan tempe, asli buatan sini. Nah, agar bisa sampai sana belum busuk, saya pun mencari tempe yang belum jadi. Jadi, saat saya bawa besok, sampai sana masih layak dimakan. Oh ya, jadi semuanya berapa, Bu?"



----------------------------------Selesai--------------------------------


Dalam kehidupan sehari-hari, kita acap berdoa, dan "memaksakan" Allah memberikan apa yang menurut kita paling cocok. Dan jika doa kita tidak dikabulkan, kita merasa diabaikan, merasa kecewa, merasa hidup ini tidak adil. Padahal, Allah paling tahu apa yang paling baik untuk hamba-Nya. Sungguh, semua rencana Allah adalah SEMPURNA.

Jangan Pernah salahkan hidup ini

0 komentar
TwitThis
Jika kamu merasa dunia ini tidak adil, hidup ini seolah hanya untuk mereka yang beruntung, kamu merasa dicurangi oleh hidup, ekonomimu tidak seberuntung mereka yang beduit, pendidikanmu jauh dari mereka yang bergelar mentereng, pekerjaanmu hanya membuat malu saat disebut, keadaan sosialmu tak diperhitungkan, hingga kamu putuskan mengatakan tuhan tidak adil.... mari lihat dan renungkan pesan dibalik foto-foto ini...


Jika kau pikir hidupmu di penuhi dengan ketegangan, lihatlah mereka


Teman. pernahkah kau berfikir kalau pekerjaanmu teralalu berat, lihatlah anak kecil ini demi sesuap nasi mereka melakukan ini di terik panas mentari, bandingkan dengan kita.renungkanlah.....


Jika anda mengeluh gaji anda rendah. lihatlah gadis dalam photo ini.banyak kah gaji yang mereka terima.......




Apakah kamu pikir kamu tidak punya banyak teman, tanyakan pada diri kamu jika kamu hanya memiliki salah satu teman yang tulus seperti anjing ini...



Jangan pernah kamu mengeluh bahwa belajar adalah suatu beban. bayangkanlah menjadi gadis kecil dalam foto ini. bebankah belajar itu.......?


Apakah kamu putus asa di dunia ini. lihatlah lelaki di dalam photo ini.dia tak pernah putus asa mengajari putranya untuk bermain sepeda, walau dengan kekurangannya itu.


Jika kamu berfikir lingkungan mu memperlakukan kamu secara tidak adil. liahat nenek ini. adilkah lingkungannya....


Jika kamu berpikir kamu tidak pernah mendapat kemanjaan/ dimanja oleh orang tua mu. dimanjakah anak kecil ini oleh kedua orang tua nya.



Sudahkan kita bersukur pada tuhan atas kehidupan kita, sudahkah kita jalani hidup ini dalam kebaikan, Silahkan merenung sobat.

Hadiah Sang Ayah

0 komentar
TwitThis




Seorang pemuda sebentar lagi akan diwisuda,sebentar lagi dia akan menjadi seorang sarjana, akhir dari jerih payahnya selama beberapa tahun di bangku pendidikan. Beberapa bulan yang lalu dia melewati sebuah showroom, dan saat itu dia jatuh cinta kepada sebuah mobil sport, keluaran terbaru dari Ford.

Selama beberapa bulan dia selalu membayangkan, nanti pada saat wisuda ayahnya pasti akan membelikan mobil itu kepadanya. Dia yakin, karena dia anak satu- satunya dan ayahnya sangat sayang padanya, sehingga dia yakin banget nanti dia pasti akan mendapatkan mobil itu.

Dia pun berangan-angan mengendarai mobil itu, bersenang-senang dengan teman-temannya, bahkan semua mimpinya itu dia ceritakan keteman-temannya. Saatnya pun tiba, siang itu, setelah wisuda, dia melangkah pasti ke ayahnya. Sang ayah tersenyum, dan dengan berlinang air mata karena terharu dia mengungkapkan betapa dia bangga akan anaknya, dan betapa dia mencintai anaknya itu. Lalu dia pun mengeluarkan sebuah bingkisan,... bukan sebuah kunci !

Dengan hati yang hancur sang anak menerima bingkisan itu, dan dengan sangat kecewa dia membukanya. Dan dibalik kertas kado itu ia menemukan sebuah Kitab Suci yang bersampulkan kulit asli, dikulit itu terukir indah namanya dengan tinta emas. Pemuda itu menjadi marah, dengan suara yang meninggi dia berteriak, "Yaahh... Ayah memang sangat mencintai saya, dengan semua uang ayah, ayah belikan alkitab ini untukku ? " Lalu dia membanting Kitab Suci itu dan lari meninggalkan ayahnya. Ayahnya tidak bisa berkata apa-apa, hatinya hancur, dia berdiri mematung ditonton beribu pasang mata yang hadir saat itu.

Tahun demi tahun berlalu, sang anak telah menjadi seorang yang sukses, dengan bermodalkan otaknya yang cemerlang dia berhasil menjadi seorang yang terpandang. Dia mempunyai rumah yang besar dan mewah, dan dikelilingi istri yang cantik dan anak-anak yang cerdas. Sementara itu ayahnya semakin tua dan tinggal sendiri. Sejak hari wisuda itu, anaknya pergi meninggalkan dia dan tak pernah menghubungi dia.

Dia berharap suatu saat dapat bertemu anaknya itu, hanya untuk meyakinkan dia betapa kasihnya pada anak itu. Sang anak pun kadang rindu dan ingin bertemu dengan sang ayah, tapi mengingat apa yang terjadi pada hari wisudanya, dia menjadi sakit hati dan sangat mendendam. Sampai suatu hari datang sebuah telegram dari kantor kejaksaan yang memberitakan bahwa ayahnya telah meninggal, dan sebelum ayahnya meninggal, dia mewariskan semua hartanya kepada anak satu-satunya itu. Sang anak disuruh menghadap Jaksa wilayah dan bersama-sama ke rumah ayahnya untuk mengurus semua harta peninggalannya.

Saat melangkah masuk ke rumah itu, mendadak hatinya menjadi sangat sedih, mengingat semua kenangan semasa dia tinggal di situ. Dia merasa sangat menyesal telah bersikap jelak terhadap ayahnya. Dengan bayangan-bayangan masa lalu yang menari-nari di matanya, dia menelusuri semua barang dirumah itu. Dan ketika dia membuka brankas ayahnya, dia menemukan Kitab Suci itu, masih terbungkus dengan kertas yang sama beberapa tahun yang lalu.

Dengan airmata berlinang, dia lalu memungut Kitab Suci itu, dan mulai membuka halamannya. Di halaman pertama Kitab Suci itu, dia membaca tulisan tangan ayahnya, "Sebaik-baik manusia adalah mereka yang paling bermanfaat bagi orang lain. Dan Tuhan Maha Kaya dari segala apa yang ada di dunia ini" Selesai dia membaca tulisan itu, sesuatu jatuh dari bagian belakang Kitab Suci itu.

Dia memungutnya,.... sebuah kunci mobil ! Di gantungan kunci mobil itu tercetak nama dealer, sama dengan dealer mobil sport yang dulu dia idamkan ! Dia membuka halaman terakhir Alkitab itu, dan menemukan di situ terselip STNK dan surat-surat lainnya, namanya tercetak di situ. dan sebuah kwitansi pembelian mobil, tanggalnya tepat sehari sebelum hari wisuda itu.

Dia berlari menuju garasi, dan di sana dia menemukan sebuah mobil yang berlapiskan debu selama bertahun-tahun, meskipun mobil itu sudah sangat kotor karena tidak disentuh bertahun-tahun, dia masih mengenal jelas mobil itu, mobil sport yang dia dambakan bertahun-tahun lalu. Dengan buru-buru dia menghapus debu pada jendela mobil dan melongok ke dalam. bagian dalam mobil itu masih baru, plastik membungkus jok mobil dan setirnya, di atas dashboardnya ada sebuah foto, foto ayahnya, sedang tersenyum bangga. Mendadak dia menjadi lemas, lalu terduduk di samping mobil itu, air matanya tidak terhentikan, mengalir terus mengiringi rasa menyesalnya yang tak mungkin diobati........

SEBERAPA MAHAL DAN BERHARGANYA KITA PERNAH KEHILANGAN SEBUAH BARANG, NAMUN TAK SEMENYESAL JIKA KITA KEHILANGAN ORANG-ORANG YANG KITA CINTAI (Sebelum kita meminta maaf padanya)...

Kisah Anjing Kecil

0 komentar
TwitThis
Untuk benar-benar memahami rasa sakit (kesukaran) dalam hidupmu, kau harus menjalaninya. Seorang petani mempunyai beberapa anak anjing yang akan di jualnya. Dia menulisi papan untuk mengiklankan anak-anak anjing tersebut, dan memakukannya pada tiang di pinggir halamannya.

Ketika dia sedang dalam perjalanan untuk memasangnya, dia merasakan tarikan pada bajunya. Dia memandang ke bawah dan bertemu mata dengan seorang anak laki-laki kecil.
" Tuan," anak itu berkata, "Saya ingin membeli salah satu anak anjing anda." "Yah," kata si petani, sambil mengusap keringat di lehernya, "Anak-anak anjing ini berasal dari keturunan yang bagus dan cukup mahal harganya."
Anak itu tertunduk sejenak, kemudian merogoh ke dalam saku bajunya, Ia menarik segenggam uang receh dan menunjukkannya kepada si petani.
"Saya punya tiga puluh sembilan sen. Apakah ini cukup untuk melihatnya?" "Tentu," kata si petani yang kemudian bersiul " Dolly, kemari!" panggilnya.
Dolly keluar dari rumah anjingnya dan berlari turun diikuti oleh anak-anaknya. Si anak laki-laki tersebut menempelkan wajahnya ke pagar, matanya bersinar-sinar.
Sementara anjing-anjing tersebut berlarian menuju pagar, perhatian anak laki-laki tersebut beralih pada sesuatu yg bergerak di rumah anjing. Perlahan keluarlah seekor anak anjing, lebih kecil dari yang lain. Ia berlari menuruni lereng dan terpeleset. Kemudian dengan terpincang-pincang berlari, berusaha menyusul yang lain.
"Aku mau yang itu," kata si anak, menunjuk pada yg anak anjing kecil itu.
Sang petani berjongkok disampingnya dan berkata," Nak, kau tidak akan mau anak anjing yang itu, dia tidak akan bisa berlari dan bermain bersamamu seperti yang bisa dilakukan anak-anak anjing lainnya."
Anak itu melangkah menjauh dari pagar, meraih ke bawah, menggulung celana di salah satu kakinya, memperlihatkan penguat kaki dari logam yang melingkari kakinya hingga sepatu yg di buat khusus untuknya.
Ia memandang sang petani, dan berkata, "Anda lihat, tuan, saya juga tidak bisa berlari, dan anak anjing itu memerlukan seseorang yang memahaminya."
Dunia penuh dengan orang-orang yang memerlukan seseorang lain yang mau memahaminya. Yesus berkata, "Sebab barangsiapa malu karena Aku, Aku-pun akan malu karena orang itu di hadapan Bapa-Ku"
Tidak merasa malu? berikut ini adalah test yg paling mudah............jika kau mengasihi Tuhan, dan tidah malu atas hal-hal indah yang dilakukan-Nya bagi kita.

Ada Tawa di Balik Luka

0 komentar
TwitThis
Mungkin ini adalah tulisan saya yang paling konyol. Tidak ada kata puitis di dalam judul dan tidak ada pesan tersembunyi di balik tulisan ini. Semuanya saya nyatakan secara vulgar, terus terang dan tanpa basa-basi. Ini sejalan dengan sikap saya yang apa adanya, tanpa tambahan pemanis dan penyedap rasa. Kalau orang bertanya siapakah saya? Ya, saya adalah apa yang ada dalam tulisan saya.

Tanpa tedeng aling-aling, saya paling tidak suka dengan sikap NATO (No Action, Talk Only) atau istilah gaulnya OMDO (Omong Doang). Saya paling tidak suka dengan orang yang dengan berapi-api mengajarkan kesucian, kalau dirinya sendiri masih kotor. Saya juga tidak suka dengan pembawa Firman yang mengajak orang damai sejahtera, sedangkan dirinya masih saja bersungut-sungut, tidak pandai bersyukur dan menderita "pauperism" yang selalu merasa dirinya kekurangan.
Dengan kata lain, saya hanya menulis dan bersaksi mengenai apa yang saya imani dan amini. Sebelum saya mengajak orang bersuka cita, saya harus terlebih dulu bersuka cita. Saya tidak akan berbicara kepada orang banyak tentang Yesus Sang Pengasih, kalau saya sendiri masih terus mengiba, meminta belas kasihan orang lain dan tidak bisa mengasihi orang lain dalam kehidupan sehari-hari. Saja juga tidak akan menulis tentang pentingnya bersyukur, sebelum saya pandai bersyukur baik dalam suka maupun duka, baik dalam keadaan sehat maupun terluka. Saya juga tidak akan bersaksi tentang indahnya melayani Tuhan, kalau saya masih diperhamba uang dan memilih-milih pelayanan yang "basah" dan beramplop tebal.
Kata "Luka" dalam tulisan ini mengandung makna yang sebenarnya, yaitu luka fisik. Saya perlu bersaksi tentang luka fisik, karena sendiri sering bergumul dengan sakit penyakit yang saya alami. Saya sendiri tidak setuju dengan syair lagu dangdut lawas yang mengatakan "lebih baik sakit gigi dapi pada sakit hati..." Mungkin bagi kebanyakan orang syair itu cocok. Tapi bagi saya pribadi, sangat tidak masuk akal. Mengapa demikian? Kalau saya sakit hati, saya hanya cukup menangis, mengadu kepada Tuhan di dalam doa, membaca Firman dan menyanyikan kidung-kidung pujian bertempo riang. Jadi tanpa harus bergantung isi dompet, rasa sakit hati saya bisa sembuh dengan kekayaan maaf yang saya miliki dan pengampunan yang Tuhan janjikan untuk saya sejauh saya mengampuni orang lain.
Nah, kalau sakit gigi gimana dong? Saya bisa merang-raung 1-2 hari hanya gara-gara sakit gigi. Gigi dan kepala saya makin sakit kalau dompet lagi kosong. Sampai saat ini saya belum pernah berhasil mengatasi sakit gigi atau sakit fisik lainnya tanpa bantuan orang lain, dokter atau obat-obantan yang semuanya berujung pada isi dompet. Jadi, bagi saya sakit fisik lebih berat dan lebih mahal dari pada sakit hati yang kesembuhannya sangat tergantung pada jamahan Tuhan Yesus. Kalau seseorang berjumpa dan memiliki hubungan pribadi yang erat dengan Tuhan Yesus, saya rasa tidak ada sikap dan perbuatan orang lain atau musuh yang bisa menyakitinya. Hati orang benar adalah tahta bagi Kristus dan Roh Kudus sendiri yang akan menangkal tombak dan pedang yang dihujamkan iblis. Dengan hikmat dan penyertaan Kristus kita akan mampu bertahan dan tidak goyah atau jatuh tersungkur ke dalam jurang dosa yang bernama sakit hati, dendam dan permusuhan.
Lagi pula kalau kita benar-benar kristiani, seharusnya tidak pernah ada kata musuh dalam hidup kita. Yang ada adalah orang yang memusuhi kita. Tetapi kita tetap tidak boleh menganggapnya sebagai musuh. Justru sebaliknya, kita harus berbelas kasihan terhadap orang-orang yang memusuhi kita atau sesamanya, karena dengan sikap memusuhi berarti mereka sedang berada jauh dengan Tuhannya.
Kembali ke soal sakit fisik, saya akui bahwa kadang-kadang saya KO karenanya. Saya setuju keselamatan dan kesehatan adalah mahal. Kalau soal keselamatan, saya anggap sudah beres karena sudah dibayar lunas oleh darah Kristus. Lha, kalau soal kesehatan, mau tidak mau saya harus merogoh kocek sendiri. Tuhan Yesus tidak pernah memberikan jaminan bahwa dengan mengikutNya, berarti saya akan terbebas dari sakit penyakit. Kalau saya sakit, Tuhan Yesus juga tidak pernah bermukjizat bim sala bim dan seketika itu juga penyakit saya lenyap. Tuhan Yesus juga tidak pernah memberi saya rejeki nomplok dari lotre, togel, kuis berhadiah berkedok SMS, arisan berantai atau penggandaan uang untuk berobat. Walaupun Tuhan Yesus sangat menyayangi saya, tetapi Ia belum pernah mengutus orang yang sekonyong-konyong datang dengan segepok uang untuk saya berobat. Tuhan Yesus justru berkali-kali mengingatkan saya harus bekerja keras walau harus menahan sakit.
Jadi kembali lagi, kesehatan bagi saya adalah sesuatu yang mahal. Untuk kesehatan saya, Tuhan Yesus hanya memberi saya kesadaran bahwa kesehatan lebih berharga dari pada sekedar materi. Ada kalanya Tuhan Yesus mengijinkan saya sakit supaya saya merasakan betapa Tuhan sangat mengasihi dan melawat saya melalui anak-anakNya. Tuhan Yesus mengijinkan saya sakit supaya ketika saya sehat, saya memiliki kepedulian, kasih sayang dan penghiburan untuk sesama yang menderita sakit.
Berbicara soal "Luka" saya justru tertawa dengan pengalaman konyol saya beberapa hari yang lalu. Tepatnya tanggal 12 Maret yang lalu, saya sungguh meraung-raung karena lutut saya terluka. Waktu itu kebetulan hari Sabtu, seperti biasa saya membeli koran Sinar Harapan tak jauh dari rumah. Sebelum ada kenaikan harga BBM, saya dan hampir seluruh tetangga sering menggunakan jasa ojek untuk keluar/masuk kompleks yang kira-kira 200m dari jalan yang dilalui angkot. Terlebih kalau hari sudah mulai gelap, banyak orang merasa ngeri berjalan sendiri melewati tanjakan terjal yang dipercaya orang masih angker.
Beberapa waktu yang lalu, saya menuliskan tentang bagaimana seharusnya kita menyikapi kenaikan harga BBM. Salah satunya saya menyarankan pembaca untuk berjalan kaki kalau hanya untuk jarak kurang dari 1 km. Saya tidak memusingkan apakah ada pembaca yang melakukannya atau tidak, tetapi saya harus tetap melakukannya sebagai saksi sekaligus teladan.
Waktu itu kira-kira jam 17.00 dan gelap sudah mulai mengusir senja. Saya memang sengaja berjalan kaki santai dengan tangan kiri menenteng koran dan tangan satunya menenteng duren (durian) pesanan anak saya. Selama perjalanan saya sedikit konflik dengan batin saya sendiri gara-gara dipanggil "teteh" oleh penjual durian. Saya tidak tahu apa sebabnya tapi panggilan itu kok rasanya aneh di telinga saya. Apalagi aksen bicara saya yang medok, penampilan saya yang "sudah tua" rasanya memang tidak pantas lagi dipanggil "teteh"oleh pedagang yang masih sangat belia itu.
Ketika saya menuruni jalan yang cukup menukik dan berbatu tajam, saya tergelincir dan sedetik kemudian saya sudah bersimpuh. Kejadiannya memang terlalu singkat dan saya sendiri kurang bisa menjaga keseimbangan. Jujur saja waktu itu saya lebih mengkuatirkan durian di tangan kanan dan celana panjang saya yang masih gres. Saya sempat blank beberapa detik dan tidak sadar di mana saya berada. Walaupun telapak tangan kanan saya tergores, saya masih lega ketika durian yang saya beli tidak mental jauh. Saya sering geli setiap mengingat "wajah kartun" saya yang bersuka cita dan bangga karena celana baru saya tidak robek, sedangkan rasa perih di lutut sudah tidak tertahankan. Saya juga geli mengingat nasehat saya yang sering saya pakai menghibur orang yang kira-kira demikian "Kalau kita mengerti seni jatuh, maka jatuhpun terasa nikmat dan indah". Sayang sekali, waktu jatuh saya sedang blank sehingga lupa menerapkan seni jatuh tanpa rasa sakit.
Sambil cengar-cengir saya memungut kembali duren yang telah melukai saya dan kembali berjalan dengan gagah, kembali ke rumah yang kira-kira masih berjarak 100m. Tapi begitu sampai di depan rumah, saya lemas sekali dan tiba-tiba ambruk. Tetangga saya yang melihat saya berlumuran darah, kontan panik karena menyangka saya blooding. Saya masih mendengar sayup-sayup suara para tetangga yang membagi tugas. Ada yang mengambil tanggung jawab menjaga anak-anak di rumah, ada yang bersedia mengontak RS dan ada juga yang menyalakan kendaraannya untuk mengatar saya ke rumah sakit.
Sebelum saya berangkat, saya masih sempat mengucapkan terima kasih untuk para tetangga dan menitipkan anak-anak kepada mereka. Karena dompet saya kebetulan kosong, saya pun menyerahkan ATM kepada salah seorang tetangga yang selama ini saya percaya dan saya ijinkan untuk tahu PIN saya.
Singkat cerita, saya harus telentang di RS. Hampir saja petugas salah membawa saya ke dokter kebidanan. Untung saja saya sadar dan berteriak "Oe, dengkul saya yang sakit, bukan ituannya". Tetangga saya pun menjadi malu karena ditertawakan petugas dan pasien lain.
Ketika dokter bedah memeriksa luka saya, langsung memerintahkan juru rawat untuk menyiapkan alat-alat operasi kecil. Dengan gaya instruksi, dokter itupun berkata "Kamu ambil gunting dan potong celananya! Kamu siapkan alkohol dan betadin untuk mencuci lukanya" Saya pun dengan cepat merespon "Lho, kok celana saya mau digunting, Dok?!" Dengan ketus dokter itu menjawab "Sekarang Ibu mau pilih celana atau dengkul?" 189ch, sadis man!" kata saya dalam hati, bernada cengengesan. Tetangga perempuan yang ikut mengantar saya tak kalah usilnya "Memangnya kredit celananya belum lunas, ya?" bisiknya sambil cekikikan. "Justru itu satu-satunya kenangan celana hasil keuntungan saya ngreditin celana, kok" kata saya melucu. Walaupun sudah dibius lokal, tetapi saya tetap berteriak-teriak ketika lutut saya mendapat 8 jahitan. Saya memang termasuk orang yang tidak tahan sakit. Saya pasti berteriak dan menangis begitu merasa sakit. Menyadari kelemahan tesebut, saya pun menggunakan telapak tangan saya untuk membekap mulut saya sendiri. Saya berharap walaupun saya berteriak, suara saya tidak sampai terdengar orang di luar ruangan.
Ketika dokter itu bertanya "Lho, tanganya kenapa?" Saya tetap mengaduh sambil berpura-pura tidak mendengar. Dalam hati saya bercanda-canda "Want to know aja! Udah tahu luka begitu, masih aja nanya! Kalau gua jawab jujur, memangnya lu mau ngapain? Memangnya beda tindakan untuk luka karena terjatuh dengan luka karena menahan durian? Gua minta diobatin, bukan pengin ditanya-tanya kenapa mengorbankan tangan untuk sebutir durian!"
Begitu selesai merawat dan menjahit luka saya, dokter itu menyarankan saya beristirahat dulu sambil menunggu radiolog datang untuk merontgen lutut saya. Dokter itu meminta saya untuk tidak terlalu banyak menggerakkan kaki kiri saya karena takut jahitannya akan jebol dan posisi tulang lutut dengan tempurungnya tidak pas. Waktu itu saya sempat protes "Lho, kalau belum jelas posisi tulang lutut dengan tempurungnya, kok sekarang sudah dijahit, dok? Nanti kalau lutut saya lepas dan harus dibetulkan, berarti jahitannya dibuka lagi, dok?" tanya saya was-was. Dokter jutek itu pun menjawab "Yang dokter saya apa situ?" Saya hanya menjawab dalam hati "Lha, jelas situ dong! Kalau situ bukan dokter, mana mungkin saya ngijinin situ nusuk-nusuk jarum di dengkul saya!"
Tidak cukup dengan hanya menasehati saya, dokter itu pun memerintahkan juru rawat untuk mengikat kaki saya dengan tempat tempa tidur. Saya hanya tersenyum sambil melucu di dalam hati "Lu orangnya nggak percayaan, ya? Gua nggak perlu gerak-gerakin kaki, cuma perlu gerak-gerakin jari tangan buat ngirim SMS ke atasan, sanak saudara dan kawan-kawan rohani. Lagian gua khan bukan orang yang bebal, kalau dinasehati untuk kebaikan nggak bakal ndableg"
Ketika tetangga menggoda "Mau makan apa? Durian ya?", saya pun hanya berkelakar "Kalau hanya ada satu permintaan yang boleh diajukan, saya minta lepasin ikatan kaki saya. Memangnya saya maling, pakai dikat-ikat segala?" Di tengah canda dan tawa, ada juga tetangga yang berseloroh "Lagian duren berduri saja dibela-belain, masih mending kalau durennya itu duda keren!". Saya pun berusaha membela diri dalam canda "Lho, duren yang itu juga penuh kenangan. Perlu perjuangan untuk mendapatkannya. Dari harga lima belas saya menawar dan menunggu lama untuk bisa mendapat harga sepuluh ribu. Untung saja, tangan ini tidak harus kena 10 jahitan!" Walaupun tangan saya sakit, saya masih menggunakan falsafah jawa "serba bejo". Maksudnya, masih bejo jatuh tertimpa durian, yang penting tidak terluka parah. Kalaupun terluka parah masih bejo, yang penting tidak tetanus. Kalaupun tetanus, masih bejo karena tidak mati. Kalaupun sampai mati masih tetap bejo karena bisa masuk surga.
Dari pada meratapi celanja baru yang sudah terpotong sebelah, saya mencoba bercanda ria dengan kawan-kawan rohani saya lewat SMS. Banyak SMS lucu dari adik-adik rohani saya, seperti "Mbak jangan lari-lari dulu ya.." Saya pun membalas dengan gurauan "Emangnya gw pesulap? Mo jalan aja gak bisa, gimana mo lari, oneng?!" Ada lagi pesan "Makanya Mbak jangan nakal, ha,ha,ha" dan saya pun membalas "Bawel ah!"
Walaupun lutut masih terasa nyeri dan perih, saya sempat menangis bahagia setelah mendapat SMS dari kakak kandung saya "Kamu layak mendapat bintang, karena penderitaan tidak membuatmu cengeng". Saya juga terharu ketika beberapa adik angkat saya menelpon dari Jakarta, Yogya dan Pontianak hanya karena mengkuatirkan keadaan saya. Saya juga terharu ketika orang terpenjara yang baru sekali saya lawat mengirim pesan lewat ponselnya "Ibu sakit apa? Bagaimana keadaan Ibu? Saya cuma bisa berdoa, semoga Ibu cepat sembuh, GBU" "Gila, baru sekali ini saya diberkati dengan ï¿Â½God bless youï¿Â½ sama nara pidana" kata saya heran bercampur harapan semoga orang itu pun percaya bahwa berkat Tuhan menjadi andalannya.
Ketika pulang ke rumah, gugatan pertama saya terima dari anak sulung saya yang duduk di kekas 6 SD."Makanya jangan nulis dan ngajarin orang jalan kaki, nanti disumpahin sama tukang ojek yang nggak dapat duit. Gara-gara Ibu nggak mau ngeluarin uang seribu untuk ojek, sekarang ibu harus mengeluarkan uang ratusan ribu" protes anak saya. "Bukan masalah jalan kaki atau naik ojek! Jalan kakinya sendiri memang bisa menghemat biaya dan membuat badan sehat. Kesalahan ibu adalah jalan sambil meleng. Jadi yang salah bukan tulisan ibu yang mengajak orang lain untuk jalan kaki. Toh ibu juga tidak mengajurkan orang berjalan sambil meleng!"
Ketika seorang tetangga menjenguk, ia pun membawa cerita kalau seminggu yang lalu anaknya jatuh dari ojek di tempat yang sama, sampai bengkak di sekujur tubuhnya. Dengan berapi-api ia membenarkan rumor yang mengatakan keangkeran tempat itu. Saya hanya tersenyum sambil berkata "Bukan salah tempatnya kok, tetapi saya yang meleng, nggak konsentrasi dan pikiran mengembara nggak karu-karuan"
Ketika saya berjalan tertatih-tatih ke kamar madi dan ke ruang makan, anak bungsu yang berumur 3 tahun berusaha menuntun saya. Ini sunguh suka cita yang luar biasa! Ketika saya memaksakan lutut kiri tidak tertekuk, anak saya tertawa geli dan berkata "Ibu kayak penguin!" Saya pun tertawa geli. Ketika saya mengenakan daster supaya lutut tidak tertekan, anak saya yang baru pertama kali melihat saya mengenakan baju spesifik untuk perempuan itu pun tertawa heran sambil nyeletuk "E.Ibu cantik!" Saya pun balik bertanya "Memangnya kemarin-kemarin ibu tidak cantik?". Dengan tawa lugu dan dengan sorot mata polos, anak saya menggelengkan kepala yakin. Saya pun menggelitiki perut anak saya sambil berkata "Enak saja! Ini sudah yang paling cantik, tahu?!"
Ternyata di balik luka masih saja ada tawa. Jadi, sekali lagi secara pribadi saya menolak ungkapan "lebih baik sakit gigi dari pada sakit hati" karena bagi saya sakit gigi lebih kompleks. Untuk menyembuhkan sakit gigi kita perlu motivasi pribadi, pertolongan Tuhan, pertolongan dokter dan tentunya persediaan uang. Sedangkan sakit hati bisa disembuhkan oleh diri sendiri dengan pertolongan Tuhan, tanpa dokter dan tanpa uang. Suka cita itu ternyata bukan identik dengan tanpa penderitaan. Suka cita dapat tercipta ketika seseorang berhasil memaknai sebuah penderitaan dan mengatasinya hingga berhasil keluar sebagai pemenang.

berjuanglah sebab da yg lebih susah dr kita

0 komentar
TwitThis
jika anda berpikir bahwa dunia tidak adil untuk anda ...
jika terbesit dalam hati kalau andalah yang paling menderita ...
...
berubahkah pendirian anda ...
bila melihat perjuangannya ...

...

tolong teruskan pesan ini kepada yang lain ...
...
"jangan pernah percaya apa digariskan di tanganmu tentang masa depanmu ...

sebab orang yang tidak mempunyai tangan juga mempunyai masa depan ..."
...
jadi ...
jangan mengeluh ...
dengan pa yg diberikan oleh Tuhan kepada kita ...

hari ni

0 komentar
TwitThis

Seorang bijak pernah berkata, bahwa ada dua hari dalam hidup ini yang sama sekali tak perlu kamu khawatirkan.
...
Yang pertama : hari kemarin.
Kamu tak bisa mengubah apa pun yang telah terjadi.
Kamu tak bisa menarik perkataan yang telah terucapkan.
Kamu tak mungkin lagi menghapus kesalahan;
dan mengulangi kegembiraan yang kamu rasakan kemarin.
Biarkan hari kemarin lewat; lepaskan saja.
...
Yang kedua : hari esok.
Hingga mentari esok hari terbit, kamu tak tahu apa yang akan terjadi. Kamu tak bisa melakukan apa-apa esok hari. Kamu tak mungkin sedih atau ceria di esok hari. Esok hari belum tiba; biarkan saja.
...
Yang tersisa kini hanyalah HARI INI.
Pintu masa lalu telah tertutup; pintu masa depan pun belum tiba. Pusatkan saja diri kamu untuk hari ini. Kamu dapat mengerjakan lebih banyak hal hari ini bila kamu mampu memaafkan hari kemarin dan melepaskan ketakutan akan esok hari.
...
Hiduplah hari ini.
Karena, masa lalu dan masa depan hanyalah permainan pikiran yang rumit. Hiduplah apa adanya. Karena yang ada hanyalah hari ini; hari ini yang abadi.

aku ... bukanlah aku yang sebenarnya

0 komentar
TwitThis

untuk semuanya
...

inilah luka yang kujabarkan dengan seluruh tumpah perih airmata, saat tulang-tulangku gemertak, mengiba pada tanah yang katanya dahulu ialah separuh nyawa, aku takluk ketika akalku bertekuk lutut pada masa lalu.

kini aku kembali takut pada matahari yang sebabkan legamnya wajah malam. akupun takluk ketika bulan kembali berkuasa.

ini bukan aku yang dahulu pernah menangkap gigil angin lalu berteriak digerbang senja, "woi ... akulah sang penakluk bulan dan matahari ...", kinipun bukan aku yang dahulu.
ini bukan aku yang dahulu rajin menabur debu ketika singgah sebentar di taman kenangan, "woi ... telah kutaklukkan keringat basah bumimu", dunia mana aku berada.

aku tersudut di kamar lusuhnya jiwa. terpuruk hingga diam yang terburuk. dihujat sewaktu hujan tadi menghujam sunyi.
ya Robb, aku hilang akal dan pikiranku, aku lupa kedewasaanku dan aku tertatih dijalan beku. ya Robb, inilah alas tonggak keputusasaanku, inilah juga kelemahanku yang kutumbalkan pada hening waktu shubuh.

aku sujud. saat ringkihku ialah irama, ketika langkahku adalah tatapan mata yang basah.

dimana aku yang sebenarnya ... ???
di semesta mana aku berada ... ???
dengan apa aku memanggil aku yang hilang ... ???

jangan benci aku mama

0 komentar
TwitThis


... boleh minjem ... kisah nyata ...

Dua puluh tahun yang lalu saya melahirkan seorang anak laki-laki, wajahnya lumayan tampan namun terlihat agak bodoh. Sam, suamiku, memberinya nama Eric. Semakin lama semakin nampak jelas bahwa anak ini memang agak terbelakang. Saya berniat memberikannya kepada orang lain saja untuk dijadikan budak atau pelayan. Namun Sam mencegah niat buruk itu. Akhirnya terpaksa saya membesarkannya juga. Di tahun kedua setelah Eric dilahirkan saya pun melahirkan kembali seorang anak perempuan yang cantik mungil. Saya menamainya Angelica. Saya sangat menyayangi Angelica, demikian juga Sam. Seringkali kami mengajaknya pergi ke taman hiburan dan membelikannya pakaian anak-anak yang indah-indah. Namun tidak demikian halnya dengan Eric. Ia hanya memiliki beberapa stel pakaian butut. Sam berniat membelikannya, namun saya selalu melarangnya dengan dalih penghematan uang keluarga. Sam selalu menuruti perkataan saya.

Saat usia Angelica 2 tahun Sam meninggal dunia. Eric sudah berumur 4 tahun kala itu. Keluarga kami menjadi semakin miskin dengan hutang yang semakin menumpuk. Akhirnya saya mengambil tindakan yang akan membuat saya menyesal seumur hidup. Saya pergi meninggalkan kampung kelahiran saya beserta Angelica. Eric yang sedang tertidur lelap saya tinggalkan begitu saja. Kemudian saya tinggal di sebuah gubuk setelah rumah kami laku terjual untuk membayar hutang. Setahun, 2 tahun, 5 tahun, 10 tahun.. telah berlalu sejak kejadian itu.

Saya telah menikah kembali dengan Brad, seorang pria dewasa. Usia Pernikahan kami telah menginjak tahun kelima. Berkat Brad, sifat-sifat buruk saya yang semula pemarah, egois, dan tinggi hati, berubah sedikit demi sedikit menjadi lebih sabar dan penyayang. Angelica telah berumur 12 tahun dan kami menyekolahkan dia di asrama putri sekolah perawatan. Tidak ada lagi yang ingat tentang Eric dan tidak ada lagi yang mengingatnya.

Sampai suatu malam. Malam di mana saya bermimpi tentang seorang anak. Wajahnya agak tampan namun tampak pucat sekali. Ia melihat ke arah saya. Sambil tersenyum ia berkata, "Tante, Tante kenal mama saya? Saya lindu cekali pada Mommy!" Setelah berkata demikian ia mulai beranjak pergi, namun saya menahannya, "Tunggu..., sepertinya saya mengenalmu.

Siapa namamu anak manis?"
"Nama saya Elic, Tante."
"Eric? Eric... Ya Tuhan! Kau benar-benar Eric?"
Saya langsung tersentak dan bangun. Rasa bersalah, sesal dan berbagai perasaan aneh lainnya menerpa diri saya saat itu juga. Tiba-tiba terlintas kembali kisah ironis yang terjadi dulu seperti sebuah film yang diputar dikepala saya. Baru sekarang saya menyadari betapa jahatnya perbuatan saya dulu.Rasanya seperti mau mati saja saat itu. Ya, saya harus mati..., mati..., mati... Ketika tinggal seinchi jarak pisau yang akan saya goreskan ke pergelangan tangan, tiba-tiba bayangan Eric melintas kembali di pikiran saya. Ya Eric, Mommy akan menjemputmu Eric...
Sore itu saya memarkir mobil biru saya di samping sebuah gubuk, dan Brad dengan pandangan heran menatap saya dari samping.
"Mary, apa yang sebenarnya terjadi?"
"Oh, Brad, kau pasti akan membenciku setelah saya menceritakan hal yang telah saya lakukan dulu." tTpi aku menceritakannya juga dengan terisak-isak ...
Ternyata Tuhan sungguh baik kepada saya. Ia telah memberikan suami yang begitu baik dan penuh pengertian. Setelah tangissaya reda, saya keluar dari mobil diikuti oleh Brad dari belakang. Mata saya menatap lekat pada gubuk yang terbentang dua meter dari hadapan saya. Saya mulai teringat betapa gubuk itu pernah saya tinggali beberapa bulan lamanya dan Eric.. Eric... Saya meninggalkan Eric di sana 10 tahun yang lalu. Dengan perasaan sedih saya berlari menghampiri gubuk tersebut dan membuka pintu yang terbuat dari bambu itu. Gelap sekali... Tidak terlihat sesuatu apa pun! Perlahan mata saya mulai terbiasa dengan kegelapan dalam ruangan kecil itu. Namun saya tidak menemukan siapapun juga di dalamnya. Hanya ada sepotong kain butut tergeletak di lantai tanah
.
Saya mengambil seraya mengamatinya dengan seksama... Mata mulai berkaca-kaca, saya mengenali potongan kain tersebut sebagai bekas baju butut yang dulu dikenakan Eric sehari-harinya. .. Beberapa saat kemudian, dengan perasaan yang sulit dilukiskan, saya pun keluar dari ruangan itu... Air mata saya mengalir dengan deras. Saat itu saya hanya diam saja. Sesaat kemudian saya dan Brad mulai menaiki mobil untuk meninggalkan tempat tersebut. Namun, saya melihat seseorang di belakang mobil kami. Saya sempat kaget sebab suasana saat itu gelap sekali. Kemudian terlihatlah wajah orang itu yang demikian kotor. Ternyata ia seorang wanita tua. Kembali saya tersentak kaget manakala ia tiba-tiba menegur saya dengan suaranya yang parau.

"Heii...! Siapa kamu?! Mau apa kau kemari?!"
Dengan memberanikan diri, saya pun bertanya, "Ibu, apa ibu kenal dengan seorang anak bernama Eric yang dulu tinggal di sini?" Ia menjawab, "Kalau kamu ibunya, kamu sungguh perempuan terkutuk! Tahukah kamu, 10 tahun yang lalu sejak kamu meninggalkannya di sini, Eric terus menunggu ibunya dan memanggil, 'Mommy..., mommy!' Karena tidak tega, saya terkadang memberinya makan dan mengajaknya tinggal Bersama saya. Walaupun saya orang miskin dan hanya bekerja sebagai pemulung sampah, namun saya tidak akan meninggalkan anak saya seperti itu! Tiga bulan yang lalu Eric meninggalkan secarik kertas ini. Ia belajar menulis setiap hari selama bertahun-tahun hanya untuk menulis ini untukmu..."

Saya pun membaca tulisan di kertas itu...
"Mommy, mengapa Mommy tidak pernah kembali lagi...?
Mommy marah sama Eric, ya? Mom, biarlah Eric yang pergi saja, tapi Mommy harus berjanji kalau Mommy tidak akan marah lagi sama Eric. Bye, Mom..."

Saya menjerit histeris membaca surat itu.
"Bu, tolong katakan... katakan di mana ia sekarang? Saya berjanji akan meyayanginya sekarang! Saya tidak akan meninggalkannya lagi, Bu! Tolong katakan..!!"
Brad memeluk tubuh saya yang bergetar keras.
"Nyonya, semua sudah terlambat. Sehari sebelum nyonya datang, Eric telah meninggal dunia. Ia meninggal di belakang gubuk ini. Tubuhnya sangat kurus, ia sangat lemah. Hanya demi menunggumu ia rela bertahan di belakang gubuk ini tanpa ia berani masuk ke dalamnya. Ia takut apabila Mommy-nya datang, Mommy-nya akan pergi lagi bila melihatnya ada di dalam sana ... Ia hanya berharap dapat melihat Mommy-nya dari belakang gubuk ini... Meskipun hujan deras, dengan kondisinya yang lemah ia terus bersikeras menunggu Nyonya di sana .
Nyonya,dosa anda tidak terampuni!"
Saya kemudian pingsan dan tidak ingat apa-apa lagi.

Kisah nyata di Irlandia Utara

surat terakhir

0 komentar
TwitThis



... kisah nyata ... boleh minjem lagi ...


Steamboat Mountain pembunuh, dan sopir truk yang menyusuri jalan raya Alaska memperlakukannya dengan hormat, terutama di musim dingin. Tikungan dan belokan jalan di gunung itu dan tebingnya yang curam menukik tajam dari jalanan berlapis es. Tak terhitung truk dan sopir truk yang tersesat di situ dan masih banyak lagi yang diyakini akan mengikuti jejak terakhir mereka.
Dalam suatu perjalanan di jalan raya itu, aku bertemu dengan Royal Canadian Mounted Police (polisi kanada) dan beberapa mobil derek menarik sisa sebuah mobil menaiki tebing terjal. Aku memarkir trukku dan menghampiri sekelompok sopir truk yang diam mengawasi mobil hancur yang mulai muncul dari jurang. Salah seorang polisi menghampiri kami dan berkata perlahan, "Saya minta maaf," katanya, "Sopirnya sudah meninggal saat kami menemukannya. Ia pasti melampaui jalan ini dua hari yang lalu waktu ada badai salju yang buruk. Tak terlihat banyak jejak. Untung kami melihat sinar matahari memantulkan logamnya."
Ia menggelengkan kepalanya perlahan dan merogoh saku mantelnya. "Ini.. mungkin kalian sebaiknya membaca ini. Rupanya dia masih hidup beberapa jam sebelum mati kedinginan."
Aku belum pernah melihat polisi berlinangan air mata. Aku selalu menyangka mereka sudah sering melihat kematian dan kesusahan sehingga mereka sudah kebal, tapi ia menghapus air mata saat ia menyerahkan surat itu kepadaku. Selagi aku membacanya, aku mulai menangis. Semua supir terdiam membaca kata2 itu, lalu berjalan kembali ke truknya masing2. Kata-kata itu terpatri dalam ingatanku, dan sekarang, bertahun2 kemudian, surat itu masih terlihat jelas seakan aku memegangnya di hadapanku. Aku ingin berbagi yang diceritakan surat itu dengan Anda dan keluarga Anda.




Desember, 1974

Istriku yang tercinta,

Tak ada orang yang ingin menulis surat seperti ini, tapi aku cukup beruntung memiliki kesempatan untuk mengatakan apa yang sering lupa kukatakan. Aku mencintaimu, Sayang. Kamu sering berkelakar bahwa aku lebih mencintai truk daripada kamu karena aku lebih banyak menghabiskan waktu dengannya. Aku memang mencintai mesin ini - ia baik padaku. Ia menemaniku dalam masa sulit dan tempat yang sulit. Aku selalu dapat mengandalkannya dalam perjalanan panjang dan ia dapat melaju cepat. Ia tak pernah mengecewakanku.
Tapi, tahu tidak? Aku mencintaimu karena alasan yang sama. Kamu juga selalu menemaniku dalam waktu yang sulit dan tempat yang sulit.
Ingat truk kita yang pertama? Truk rongsokan yang selalu membuat kita bangkrut, tapi yang selalu mengumpulkan cukup uang untuk kita makan?
Kamu harus mencari pekerjaan supaya kita dapat membayar sewa rumah dan bon tagihan. Setiap sen yang kuhasilkan dipakai untuk truk, sementara uangmu memberi kita makanan dan atap untuk bernaung. Aku ingat aku pernah mengeluhkan truk itu, tapi aku tak pernah mendengarmu mengeluh waktu pulang kerja dengan lelah dan aku meminta uang darimu untuk pergi lagi. Seandainya pun kamu mengeluh, mungkin aku tak mendengarnya. Aku terlalu terlena oleh masalahku sendiri sehingga tak pernah memikirkan masalahmu.
Aku memikirkannya sekarang, semua yang kau korbankan untukku. Pakaian, liburan, pesta, teman. Kamu tak pernah mengeluh dan entah bagaimana aku tak pernah ingat untuk berterima kasih padamu untuk menjadi dirimu.
Saat aku duduk minum kopi bersama teman-teman, aku selalu membicarakan trukku, kendaraanku, pembayaranku. Rupanya aku lupa bahwa kamu adalah mitraku meskipun kamu tak berada bersamaku. Pengorbanan dan keteguhan hati dari pihakku dan dari pihakmu jugalah yang akhirnya membelikan kita truk baru.
Aku begitu bangga dengan truk itu hingga rasanya seperti ingin meledak. Aku bangga akan dirimu juga, tapi aku tak pernah mengatakannya. Aku menganggap kamu pasti sudah tahu, tapi andai aku melewatkan waktu untuk mengobrol denganmu sama banyaknya dengan untuk memoles trukku, mungkin aku akan mengatakannya. Bertahun-tahun selama aku mendera aspal, aku selalu tahu doamu mengiringiku. Tapi kali ini doa ini tidak cukup. Aku cedera parah. Ini perjalananku yang terakhir dan aku ingin mengatakan semua yang seharusnya kukatakan sebelumnya. Hal yang terlupakan karena aku terlalu sibuk dengan truk dan pekerjaan.
Aku memikirkan ulang tahunmu dan ulang tahun pernikahan kita yang terlupakan. Drama sekolah dan pertandingan hoki yang kauhadiri sendirian karena aku sedang di jalanan. Aku memikirkan malam2 sepi yang kau lewatkan seorang diri, bertanya-tanya di mana aku berada dan bagaimana keaadanmu. Aku memikirkan semua saat aku ingin meneleponmu hanya untuk menyapa tapi tak pernah jadi. Aku memikirkan perasaanku yang damai karena tahu kamu berada di rumah bersama anak-anak menungguku.
Tiap kali ada makan malam keluarga, kau selalu harus menghabiskan seluruh waktumu untuk menjelaskan kepada orang tuamu mengapa aku tak dapat hadir. Aku sibuk mengganti oli; aku sibuk mencari onderdil; aku sedang tidur karena harus berangkat pagi-pagi esoknya. Selalu ada alasan, tapi rasanya sekarang alasan itu tak begitu penting.
Waktu kita menikah, kamu tak tahu cara mengganti lampu. Tapi, setelah beberapa tahun, kamu mampu memperbaiki perapian selagi badai, sementara aku menunggu muatan di Florida. Kamu menjadi montir yang cukup baik, membantuku memperbaiki, dan aku bangga sekali akan dirimu waktu kamu melompat ke dalam truk dan mundur melindas semak mawar. Aku bangga akan dirimu saat aku masuk ke halaman dan melihatmu tidur di mobil menungguku.
Apakah itu jam dua subuh atau jam dua siang, kamu selalu kelihatan seperti seorang bintang film bagiku. Kamu cantik sekali. Mungkin aku tak mengatakannya akhir-akhir ini, tapi kamu memang cantik.
Aku banyak berbuat kesalahan dalam hidupku, tapi seandainya aku pernah mengambil satu keputusan bagus, itu adalah saat aku melamarmu. Kamu tak akan pernah bisa mengerti apa yang membuatku terus mengemudikan truk. Aku juga tak mengerti, tapi itulah cara hidupku.
Masa susah, masa senang, kamu selalu ada. Aku mencintaimu, Sayang, dan aku mencintai anak-anak. Tubuhku sakit, tapi hatiku jauh lebih sakit. Kamu tak akan hadir saat aku mengakhiri perjalanan ini. Untuk pertama kalinya sejak kita bersama, aku benar-benar sendirian dan aku takut. Aku sangat membutuhkanmu, dan aku tahu sudah terlambat.
Lucu juga ya, tapi yang kumiliki sekarang adalah truk ini. Truk terkutuk ini yang mengatur hidup kita begitu lama. Baja rongsok tempatku hidup selama bertahun-tahun. Tapi truk ini tak dapat membalas cintaku. Hanya kamu yang bisa. Kamu beribu mil jauhnya, tapi aku merasakan dirimu bersamaku di sini. Aku dapat melihat wajahmu dan merasakan cintamu dan aku takut melakukan perjalanan terakhir ini sendirian.
Katakanlah pada anak-anak bahwa aku sangat mencintai mereka dan jangan ijinkan mereka bekerja sebagai supir truk.
Mungkin cuma itu, Manis. Ya Tuhan, aku betul-betul mencintaimu. Jagalah dirimu dan ingatlah selalu bahwa aku mencintaimu melebihi segala yang ada dalam hidup ini. Aku cuma lupa mengatakannya.

Aku mencintaimu,
Bill

Kisah nyata dari Canada

Silahkan Tnggalkan Komentar Anda

 

Tentang saya

Easy Blog Trick

Twitter Blog Templates © Copyright by Catatan Bang Goeltom | Template by BloggerTemplates | Blog Trick at Blog-HowToTricks